Selasa, 12 Januari 2010

Ringgit Beber

Di Dusun Karang Talun, Kecamatan Donorojo, tinggal seorang dalang Ringgit Beber (wayang beber) bernama Gondolesono. Gondolesono mempunyai enam lembar wayang beber dengan lakonnya ialah Panji. Ringgit (wayang) tersebut dibuat dari kertas jawa tebal dan halus, bagus sekali, dilihat dari cat maupun bentuknya. Wayang-wayang tersebut merupakan warisan dari leluhur Gondolesono dan Gondolesono adalah turunan yang kedelapan. Adapun cerita ringgit beber sebagai berikut.
Dahulu, hiduplah seorang bernama Nolodremo. Ketika masih muda, dia mengabdi kepada Kyai Tumenggung Butoijo di tanah Sembuyan. Pada suatu hari Nolodremo mengikuti Kyai Tumenggung Butoijo hingga tiba di suatu tempat dimana tempat tersebut merupakan wilayah kekuasaan Prabu Browijoyo, Kerajaan Majapahit. Pada saat itu, Prabu Browijoyo sedang dirundung duka karena putranya sedang sakit dan sakit putranya itu telah cukup lama. Sudah berkali-kali Prabu berusaha menyembuhkan putranya dengan mengupayakan dukun, pandito, dan wasi, namun putranya tidak kunjung sembuh juga.

Pada suatu hari, Sang Prabu Brawijoyo beristirahat di pendopo. Kyai Tumenggung Butoijo menghadap beserta Nolodremo. Di tengah-tengah percakapan Sang Prabu dengan Tumenggung Butoijo, Sang Prabu menyapa Nolodremo.

“ Hai, Nolodremo. Saya sedang kesusahan karena ada putra saya yang sakit dan belum juga sembuh. Sudah banyak dukun dan pandito yang saya minta untuk menyembuhkan putra saya, sudah banyak mantra, jamu yang dimasukkan kepadanya, tetapi belum sembuh juga. Maka, coba tolonglah Nolodremo! Putra saya itu disembuhkan supaya penyakitnya hilang dan akhirnya sembuh,” Walaupun Nolodremo sebenarnya bukan dukun dan belum pernah menyembuhkan orang sakit, tetapi karena ada perintah dari Sang Prabu, ia pun menyanggupinya.

Ternyata putra Sang Prabu sembuh dari sakitnya lantaran disembuhkan oleh Nolodremo. Sang Prabu sangat senang akan hal ini. Akhirnya Nolodremo dianggap sebagai abdi kedaton yang lebih dikasihinya. Pada saat Kyai Tumenggung Butoijo akan pulang ke rumahnya, Nolodremo diminta oleh Sang Prabu untuk untuk tetap tinggal di kedaton. Di kedaton, Nolodremo dididik oleh Sang Prabu menjadi dalang ringgit beber dan Nolodremo tidak diizinkan pulang sebelum mahir menjadi dalang ringgit beber.

Ketika Nolodremo sudah mahir memainkan ringgit beber, dia meminta izin untuk pulang. Sebelum pulang, Nolodremo diberi hadiah Sang Prabu berupa ringgit beber karena ringgit beber dianggap lebih aman dan lebih tahan lama sebab lebih dapat menghasilkan setiap saat dan dapat menyenangkan orang banyak daripada emas dan Rojobrono, karena Rojobrono maupun emas mudah habis dan di perjalanan tidak aman. Selain itu, Sang Prabu berpesan kepada Nolodremo supaya dia mendidik anak-anaknya menjadi dalang agar ringgit beber tersebut tetap lestari dan supaya Nolodremo benar-benar menjalankan apa yang telah diwasiatkan Sang Prabu kepadanya.

Dalam perjalanan pulangnya, Nolodremo kehabisan bekal. Akhirnya dia memutuskan untuk mbarang (mengamen) di Pedusunan melaksanakan pentas wayang beber agar mendapatkan upah. Begitu seterusnya sampai dia tiba di rumahnya. Akhirnya Nolodremo dikenal sebagai dalang wayang ringgit dan sering diundang ke daerah-daerah lain dalam acara khitanan atau lainnya sehingga dia mendapat keuntungan banyak sekali. Setelah Nolodremo meninggal dunia, kemampuan mendalangnya masih diteruskan oleh putra sulungnya dan seterusnya secara turun temurun hingga sekarang. Adapun turunan Nolodremo yang mendapat warisan wayang beber sebagai berikut:

1. Nolodremo turunan ke-1

2. Nolo turunan ke-2

3. Samolo turunan ke-3

4. Nolongso turunan ke-4

5. Trunodongso turunan ke-5

6. Gondolesono turunan ke-6

7. Setrolesono turunan ke-7

8. Gondolesono turunan ke-8

* * *

Kotak wayang beber itu lebarnya hanya satu kaki, panjangnya empat kaki, dan tingginya satu setengah kaki. Gawang untuk panggung pada saat digelar dibuat dari kayu, panjangnya kurang lebih satu setengah meter (satu depo) dan tingginya setengah kaki. Iringan gamelannya berupa rebab, kethuk, kenong, kempul, serta kendang. Gendingnya hanya ayak-ayakan. Pada saat adegan perang, tabuhannya diperkeras tetapi jika sedang ceritan, tabuhannya hanya lamban saja. Perjalanan menggelar wayang beber waktunya hanya setengah hari saja. Misal, mulai pukul delapan dan selesai pukul dua belas.

Dari cerita Gondolesono, wayang, kotak, cempala, serta semua tetabuhan merupakan pemberian dari Keraton Majapahit. Mulai menerima semua hal tersebut dari Prabu Brawijaya hingga sekarang, tidak ada yang mengalami perubahan. Walaupun ada yang rusak, Gondolesono tidak berani untuk memperbaikinya-meski memperbaikinya tidak terlalu sulit-sebab dia masih mempunyaii keyakinan bahwa semua watyang atau satu unit tabuhan itu masih merupakan barang yang dianggap keramat maka tetap takut dengan siku bilahinya.

By:Rohma Nur Azmi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar